Setiap inchi daratan adalah pentas tarian cintaMu. Setiap kubik lautan adalah tinta 'tuk tuliskan syair untukMu. Dan sehelai nyawaku sebagai pengikatMu.

Saturday, July 28, 2012

Mataku Mata Nyalang

Advertisement

Mataku, mata nyalang yang mengawasi rerimbunan semak belukar setinggi dada. Mataku tak pernah terpejam kala malam. Mataku mata lelah yang sama. Mataku adalah mata tajam. Mataku adalah mata.

Di samar lampu jalan desa yang di pasang hampir 10 tahun yang lalu, kulihat ada gerak perlahan di semak-semak yang hampir kering karena hujan sudah tak menetes hampir dua bulan. Kudekati, barangkali ada seseorang yang bisa kumintai bantuan, ternyata cuma anjing.

Aku kembali ke tempat awal 'ku berdiri, sendiri. Diam, sediam hening hutan jati yang kutempati. Kembali menunggu seseorang atau sesuatu yang melintas di belukar seberang jalan desa. Hingga pagi kemudian siang.

Dengan gerakan lelah yang anggun, aku menggeliat. mencoba meregangkan otot-ototku yang hampir hilang. Tulangku berderit, seakan protes karena kurang asupan, kasihan. Aku berhenti menggeliat ditangah-tengah karena kumenyadari sesuatu yang tiba-tiba melintas di benakku. Sumur, ya sumur di seberang jalan itu. di balik rimbun belukar yang setinggi dada itu.

Kucium ketiak-ku, apak. kujilat sedikit, hmm.. asin. Sudah berapa minggu aku tak mandi? Aku bangkit lagi, dengan agak malas. Ini siang yang panas. Ku lirik matahari, dia tak perduli, tersenyum sinis malahan. Gontai ku berjalan menyeberang jalan desa berdebu yang khas. menerobos semak belukar yang gatalnya membuat badanku lebih gatal dari sebelumnya.

Kulihat sumur itu, sumur tua peninggalan belanda. Kumendekat penuh minat. Aku akan mandi, dan membersihkan diri untuk hari ini. Tersenyum simpul sendiri, seperti orang gila yang kutemui seminggu yang lalu. Setidaknya aku tidak gila. Dan satu lagi, mataku mata nyalang yang tak pernah terpejam.

Advertisement
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Mataku Mata Nyalang

0 komentar:

Post a Comment